Rabu, 29 Januari 2014

SEJARAH TENTANG RM.OENTOWIRYO DAN PUTRI JUNJUNG BUIH



ternyata rm.oentowiryo itu adalah pangeran diponegoro

asalmula atau kisah RM.oentowiryo [ pangeran diponegoro ]
Perang Diponegoro, adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin Pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

Awalnya untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan RA. Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.

Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan, para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.


Photo: ternyata rm.oentowiryo itu adalah pangeran diponegoro 

asalmula atau kisah RM.oentowiryo [ pangeran diponegoro ]
Perang Diponegoro, adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin Pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

Awalnya untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan RA. Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.

Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan, para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

sumber dari wikipedia, sejarah nusantara, dan catatan pendek tentang Pangeran Diponegoro
SEJARAH PUTRI JUNJUNG BUIH
Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih adalah Raja Putri dari Kerajaan Negara Dipa, yang berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan. Karena unsur ini banyak raja di Kalimantan mengaku sebagai keturunan langsung darinya.

Putri Junjung Buih merupakan anak kandung Ngabehi Hileer, yang kemudian diangkat anak oleh Lambung Mangkurat saat "balampah" (Banjar: bertapa). Putri Junjung Buih menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Dari pasangan ini lahirlah anak-anak yang meneruskan kerajaan mereka. Salah satu yang terkenal adalah Pangeran Aria Dewangga yang menikah dengan Putri Kabuwaringin (anak dari Lambung Mangkurat). Mereka ini menurunkan para raja Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha, hingga Kesultanan Banjar dan Kesultanan Kotawaringin.

Menurut cerita rakyat Kalimantan, seorang raja harus berasal dari keturunan Putri Junjung Buih. Lantaran itu, para raja Kalimantan kerap mengaku berdarah Putri Junjung Buih. Tujuannya mendapat legitimasi dari rakyat. Ya, mirip-mirip dengan raja Jawa yang mengaku mendapat wahyu Ilahi saat mengumumkan diri menjadi raja. Atau mirip dengan King Arthur di Inggris Raya yang mengaku bisa mengangkat pedang legendaris yang hanya bisa ditarik oleh seorang yang calon raja. Bisa dikatakan legenda Putri Junjung Buih tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kalimantan Selatan.

Ah, sudahlah nulisnya terlalu melebar. Baca saja cerita rakyat Putri Junjung Buih selengkapnya.

***

Legenda ini bermula ketika Lambung Mangkurat dari kerajaan Nagara Dipa berusaha mencari sosok pemimpin untuk memerintah kerajaan tersebut. Hal ini sesuai pesan sang ayah, Empu Jatmika, yang mengatakan kepada Lambung Mangkurat dan Empu Mandastana supaya tidak berambisi menjadi raja. Justru mereka harus mencari pengganti Empu Jatmika. Selama bertahun-tahun, kedua putra Empu Jatmika bertapa belum juga mendapat firasat dan petunjuk siapa gerangan yang bakal menjadi raja.

Empu Jatmika mengarahkan keduanya. Lambung Mangkurat kemudian bertapa ditepi sungai di Luhuk Bargaja. Dalam pertapaannya, ia menemukan sosok raja yang dicarinya. Kisahnya digambarkan sebagai berikut. Permukaan air sungai seketika itu berbuih dan bercahaya. Sejenak air tenang, kemudian terdengar suara lembut nan merdu dari buih tersebut. "Wahai, Lambung Mangkurat, akulah raja yang kau cari-cari selama ini. Namaku Putri Junjung Buih."

Sesuai amanat Empu Jatmika, Lambung Mangkurat menawarkan tempat tinggal di dalam candi yang telah dibangun ayahnya sebelum meninggal. Namun Putri Junjung Buih Menolaknya. Ia mau menjadi raja di Nagara Dipa jika dibuatkan mahligai tuntung sahari (selesai dalam sehari) dengan tiang empat batang haur batung batulis yang tumbuh di Gunung Batupiring. Kemudian minta disediakan kain lagundi sepanjang 7 hasta, lebar 3 jengkal dan dirajut oleh 40 gadis perawan.

Setelah permintaan tersebut dipenuhi, pada malam harinya keluarlah Putri Junjung Buih dari dalam air. Sosoknya digemerlapi cahaya, mengenakan sarung kain sutera kuning dan juga bertutup sutera kuning. Putri Junjung Buih adalah sosok suci kiriman dari batara dewa yang muncul ke permukaan bumi dari alam sagara atau alam bawah. Ia mengemban tugas memimpin Kerajaan Nagara Dipa, cikal bakal banua Banjar.

Photo: Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih adalah Raja Putri dari Kerajaan Negara Dipa, yang berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan. Karena unsur ini banyak raja di Kalimantan mengaku sebagai keturunan langsung darinya.

Putri Junjung Buih merupakan anak kandung Ngabehi Hileer, yang kemudian diangkat anak oleh Lambung Mangkurat saat "balampah" (Banjar: bertapa). Putri Junjung Buih menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Dari pasangan ini lahirlah anak-anak yang meneruskan kerajaan mereka. Salah satu yang terkenal adalah Pangeran Aria Dewangga yang menikah dengan Putri Kabuwaringin (anak dari Lambung Mangkurat). Mereka ini menurunkan para raja Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha, hingga Kesultanan Banjar dan Kesultanan Kotawaringin.

Menurut cerita rakyat Kalimantan, seorang raja harus berasal dari keturunan Putri Junjung Buih. Lantaran itu, para raja Kalimantan kerap mengaku berdarah Putri Junjung Buih. Tujuannya mendapat legitimasi dari rakyat. Ya, mirip-mirip dengan raja Jawa yang mengaku mendapat wahyu Ilahi saat mengumumkan diri menjadi raja. Atau mirip dengan King Arthur di Inggris Raya yang mengaku bisa mengangkat pedang legendaris yang hanya bisa ditarik oleh seorang yang calon raja. Bisa dikatakan legenda Putri Junjung Buih tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kalimantan Selatan.

Ah, sudahlah nulisnya terlalu melebar. Baca saja cerita rakyat Putri Junjung Buih selengkapnya.

***

Legenda ini bermula ketika Lambung Mangkurat dari kerajaan Nagara Dipa berusaha mencari sosok pemimpin untuk memerintah kerajaan tersebut. Hal ini sesuai pesan sang ayah, Empu Jatmika, yang mengatakan kepada Lambung Mangkurat dan Empu Mandastana supaya tidak berambisi menjadi raja. Justru mereka harus mencari pengganti Empu Jatmika. Selama bertahun-tahun, kedua putra Empu Jatmika bertapa belum juga mendapat firasat dan petunjuk siapa gerangan yang bakal menjadi raja.

Empu Jatmika mengarahkan keduanya. Lambung Mangkurat kemudian bertapa ditepi sungai di Luhuk Bargaja. Dalam pertapaannya, ia menemukan sosok raja yang dicarinya. Kisahnya digambarkan sebagai berikut. Permukaan air sungai seketika itu berbuih dan bercahaya. Sejenak air tenang, kemudian terdengar suara lembut nan merdu dari buih tersebut. "Wahai, Lambung Mangkurat, akulah raja yang kau cari-cari selama ini. Namaku Putri Junjung Buih."

Sesuai amanat Empu Jatmika, Lambung Mangkurat menawarkan tempat tinggal di dalam candi yang telah dibangun ayahnya sebelum meninggal. Namun Putri Junjung Buih Menolaknya. Ia mau menjadi raja di Nagara Dipa jika dibuatkan mahligai tuntung sahari (selesai dalam sehari) dengan tiang empat batang haur batung batulis yang tumbuh di Gunung Batupiring. Kemudian minta disediakan kain lagundi sepanjang 7 hasta, lebar 3 jengkal dan dirajut oleh 40 gadis perawan.

Setelah permintaan tersebut dipenuhi, pada malam harinya keluarlah Putri Junjung Buih dari dalam air. Sosoknya digemerlapi cahaya, mengenakan sarung kain sutera kuning dan juga bertutup sutera kuning. Putri Junjung Buih adalah sosok suci kiriman dari batara dewa yang muncul ke permukaan bumi dari alam sagara atau alam bawah. Ia mengemban tugas memimpin Kerajaan Nagara Dipa, cikal bakal banua Banjar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar